Hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita yang sedang mengalami haid diantaranya:
Al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan do’anya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.”[1]
‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- berkata, “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, beliau bersabda,“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).”[2]
Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-, dan al-Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah –subhaanahu wa ta’ala– berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (Qs. al-Hijr: 9)
Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca al-Qur’an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada ‘Aisyah yang sedang haid hanyalah thawaf.
Permasalahan membaca al-Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan, “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih yang jelas.”
Adapun jumhur ahli ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca al-Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengqiyaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca al-Qur’an. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhu az-Zad 1/291.[3]
Asy-Syaikh Mushthafa al-Adhawi dalam kitabnya memberikan bantahan bagi orang yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an. Pada akhir tulisannya beliau berkata, “Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca al-Qur’an dan berdzikir, Wallahu a’lam.”[4]
2. Sujud Tilawah.
Seorang wanita yang sedang mengalami haid, diperbolehkan baginya untuk melakukan sujud Tilawah ketika mendengarkan ayat-ayat Sajdah karena hal itu bukanlah shalat dan tidak disyaratkan dalam keadaan suci.
Pernah suatu ketika Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- membaca Surat an-Najm, maka ketika beliau sampai kepada ayat Sajdah, beliau bersujud dan diikuti oleh orang-orang Islam, orang-orang musyrik, dan golongan jin serta manusia. Imam Zuhri dan Qatadah juga sependapat dengan hal itu Sebagaimana yang disebutkan dalam Mushannaf Abdul Razaq (I/321).[5]
3. Menyentuh mushaf.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa al-Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa al-Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap al-Qur’an.
Berkata Asy-Syaikh Mushthafa al-‘Adawi, “Mayoritas ahli ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar –wallahu a’lam- bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf al-Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf, pent.):
Firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-:
لايَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Qs. al-Waqi’ah: 79).
Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-:
“Tidaklah menyentuh al-Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. ath-Thabrani).[6]
Jawaban atas dalil yang pertama:[7]
Pendapat pertama: mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dhamir (kata ganti) dalam firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-: (laa yamassuhu) adalah kitab yang tersimpan di langit. Sedangkan (al-muthahharun) adalah para malaikat. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia,
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ $ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ $ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ .
“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Qs. Al Waqi’ah: 77-79)
Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ $ مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ $ بِأَيْدِي سَفَرَةٍ $ كِرَامٍ بَرَرَةٍ .
“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.).” (Qs. Abasa: 13-16).
Inilah pendapat mayoritas ahli tafsir tentang tafsir ayat ini.
Pendapat kedua: tentang tafsir ayat tersebut bahwasanya yang diinginkan dengan al-muthahharun adalah orang-orang yang beriman. Berdasarkan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-, yang artinya:
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (Qs. at-Taubah: 28)
Dan dengan sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ .
“Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis.”[8]
Dan Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- melarang bepergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka.[9]
Pendapat ketiga: bahwasannya maksud dari firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-surat al-Waqi’ah: 79 di atas adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang yang beriman.
Pendapat keempat: pendapat ini merupakan pendapat yang diikuti oleh minoritas ahli tafsir, mereka mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan al-muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.”
Pendapat kelima: al-muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.
Pendapat keenam: al-muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).
Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh al-Qur’an. Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an memilih sisi kelima dan keenam.
Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan al-muthahharun dengan malaikat.
Jawaban atas dalil yang kedua.[10]
Tidak saya dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh al-Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Albani –rahimahullah- menshahihkannya dalam al-Irwa’ (91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas.
Asy-Syaikh Albani –rahimahullah- sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ adalah orang yang beriman baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid. Wallahu a’lam.
4. Ikut menghadiri ke tempat shalat ‘Ied.
Hal ini diperbolehkan, bahkan disunahkan untuk menyaksikan dan menghadiri shalat ‘Ied. Akan tetapi mereka dilarang melaksanakan shalat. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- bersabda, yang artinya:
“Agar para gadis, perawan dan wanita-wanita haid ikut keluar –untuk menghadiri shalat ‘Ied-. Hendaknya mereka ikut serta menyaksikan kebaikan dan do’a kaum muslimin. Namun wanita-wanita haid menjauh dari tempat shalat.”[11]
5. Masuk masjid.
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Asy-Syaikh Mushthafa al-‘Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya:
Dalil yang membolehkan:
a. Al-bara’ah al-ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk ke masjid.
b. Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih al-Bukhari.
c. Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau –shallallaahu ‘alahi wa sallam- yang artinya,
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali thawaf di Ka’bah.”[12]
Dalam hadits di atas Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid, sebagaimana jama’ah haji boleh masuk ke masjid.
d. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- bersabda,
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.”[13]
e. Atha bin Yasar berkata, “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudhu seperti wudhu shalat.”[14]Maka sebagian ulama mengqiyaskan junub dengan haid.
Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang bermalam di masjid. Diantara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang i’tikaf ada yang haid.
Dalil yang melarang:
a. Firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (Qs. an-Nisa’: 43)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘shalat’ dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-:
“…niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Qs. Al-Hajj: 40).
Mereka berkata, “Akan runtuh shalawat maknanya akan runtuh tempat-tempat shalat.”
Di sini mereka mengqiyaskan haid dengan junub. Namun Asy-Syaikh Mushthafa berkata, “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat berbuat demikian.”
2. Sabda Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat shalat ‘Ied.
Beliau –shallallaahu ‘alahi wa sallam- mengatakan (yang artinya), “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)
Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan ‘mushalla’ di sini adalah ‘shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- dan para shahabatnya shalat ‘Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).
3. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- mendekatkan kepala beliau kepada ‘Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga ‘Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu ‘Aisyah sedang haid.
Dalam dalil ini tidak ada larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.
4. Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran. Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.
5. Hadits yang lafadznya:
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.”[15]
Akan tetapi hadits ini dha’if (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah binti Dajaajah. Kemudian Asy-Syaikh Mushthafa al-‘Adawi mengatakan, “Kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid, dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya.”[16]
6. Melayani suaminya.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu aku pernah menyisir rambut Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- ketika aku sedang haid.”[17]
7. Tidur satu selimut dengan suami.
Dari Ummu Salamah, ia berkata, ”Tatkala aku tidur bersama Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- dalam satu kain, tiba-tiba aku haid. Maka aku menyelinap keluar untuk mengambil baju haid. Lalu beliau berkata, ‘Apakah engkau haid?‘ Aku berkata, ‘Ya, kemudian Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- memanggilku, maka akupun tidur kembali bersamanya dalam satu selimut.’[18]
Imam Nawawi –rahimahullah– mengatakan, “Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya tidur dan berbaring dengan isteri yang sedang haid dalam satu selimut.”[19]
8. Suami membaca al-Qur’an di pangkuan istrinya yang sedang haid.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- membaca al-Qur’an sedangkan kepalanya berada dalam pangkuanku dan ketika itu aku sedang haid.”[20]
9. Makan dan minum bersama dengan istri yang sedang haid.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu aku minum ketika sedang haid, kemudian kuberikan minumanku kepada Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, lalu beliau meletakkan mulutnya tepat pada tempat yang aku minum kemudian beliau meminumnya. Dan aku juga pernah menggigit daging dengan gigiku ketika aku sedang haid, kemudian aku berikan daging tersebut kepada Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Lalu beliau meletakkan mulutnya tepat pada bekas mulutku.”[21]
Hal-Hal yang Haram Bagi Wanita yang Haid dan Nifas
Adapun hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas adalah:
1. Shalat dan Puasa.
Dari Mu’adzah ia bertanya kepada ‘Aisyah, “Mengapa perempuan yang haid hanya mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka ‘Aisyah menjawab, “Yang demikian itu terjadi pada kami (ketika) bersama Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, yaitu agar kami mengganti puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.”[22]
Imam an-Nawawi berkata, “Umat muslim bersepakat bahwa wanita yang haid dan nifas tidak wajib mengerjakan shalat.”[23]
2. Berjima’.
Allah –subhaanahu wa ta’ala– berfirman, yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…….” (Qs. al-Baqarah: 222)
Dalam menafsirkan kata “mahidz” yang pertama, maka ulama bersepakat bahwa itu artinya darah haid. Akan tetapi mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata “mahidz”, ada yang mengartikan darah haid, masanya, tempat keluarnya (farj).[24]
Rasulullah bersabda, “Lakukan apa saja kecuali nikah (yakni bersenggama).”[25]
Maka diharamkan bagi seorang suami melakukan jima’ dengan isterinya yang sedang mengalami haid. Begitu juga diharamkan bagi seorang isteri memberikan kesempatan kepada suaminya untuk melakukan hal tersebut.
Imam an-Nawawi –rahimahullah ta’ala– mengatakan, “Apabila seorang muslim berkeyakinan akan halalnya menyetubuhi wanita yang sedang haid pada kemaluannya, maka ia dihukumi kafir murtad. Sedangkan apabila ia tidak meyakini akan kehalalannya, entah disebabkan lupa dan tidak mengetahui adanya haid atau dirinya tidak mengetahui akan haramnya perbuatan tersebut atau karena dipaksa, maka ia tidak berdosa dan tidak ada kafarat baginya. Namun apabila ia menyetubuhi isterinya dengan sengaja dan ia mengetahui bahwa isterinya sedang mengalami haid dan ia pula mengetahui haramnya perbuatan tersebut serta tanpa adanya suatu paksaan, maka ia telah berbuat maksiat dan dosa besar, maka wajib baginya bertaubat.”[26]
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima’ (senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farj (vagina). Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha-, “Pernah Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- berkain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid.”[27]
3. Thawaf
Sebagaimana penuturan ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-, “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-, beliau bersabda,“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, kecuali thawaf di sekeliling Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).”[28]
[1] Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : ‘Shalat Iedain’.
[2] HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj.
[3] Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az-Zaawii.
[4]Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal. 183-187.
[5]Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal. 174.
[6] Shahihul Jami’ 7880; Al-Misykat 465.
[7] Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal. 187-188.
[8] HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 116
[9] HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
[10] Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal.188.
[11]
[12] HR. Bukhari no. 1650.
[13] HR. Bukhari no. 283 dan Muslim dalam Kitab al-Haid, no. 116.
[14] Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan.
[15] HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didhaifkan dalam al-Irwa’ 1/124.
[16] Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal. 191-195.
[17] HR. Bukhari dan Muslim.
[18] HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
[19] Al-Minhaj –Syarah Shahih Muslim- (I/594).
[20] HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
[21] HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah.
[22] Muttafaq ‘Alahi: Muslim I/ 265 no. 335 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari I/421 no. 321, Tirmidzi I/87 no. 130, ‘Aunul Ma’bud: 444 no. 259 dan Ibnu Majah I/207 no. 631.
[23] Al-Minhaj –Syarah Shahih Muslim-, Imam an-Nawawi.
[24] Musthafa al-‘Adhawi, op.cit., hal. 128.
[25] HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
[26] Muhyidin an-Nawawi, op.cit., hal. 195.
[27] Muttafaq ‘alaih.
[28] HR. Bukhari no. 1650 dan Muslim dalam Kitab al-Hajj no. 120.
Posting Komentar