Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Ada hal menarik yang menjangkiti kalangan Islam liberal. Mereka suka dengan apapun yang ‘baru’. Apa pun yang terlihat baru, akan mereka anggap revolusioner. Padahal hanya TERLIHAT baru. Sesuatu yang terlihat baru bisa jadi sebenarnya sama sekali tidak baru, hanya saja kita belum pernah melihatnya. Orang memang akan mudah bingung jika tidak memahami persoalan secara konseptual.

Inilah contoh kasus kebingungan itu. Sebenarnya, ini sama sekali bukan hal baru. Entah sudah berapa kali saya mendengar retorika begini. Retorika ini membuat orang bingung semakin bingung.


 Mengapa harus beragama jika Tuhan saja tidak beragama? Ujung-ujungnya adalah pluralisme agama (mengatakan semua agama itu benar).

 “Kalau Tuhan tidak beragama, maka agama mana pun sama saja. Buat apa meyakini agama sendiri sebagai yangpaling benar? Toh, Tuhan pun tidak beragama!” Kurang lebihnya begitu. Ada juga yang bilang: “Saya menyembah Tuhan, bukan menyembah agama!” Ini konsep pluralismenya John Hick: “beralih dari ‘religion-centredness’ ke ‘God-centredness’!” Ini cuma sejengkal saja jaraknya dengan paham spiritualisme yang mengatakan: “spiritualism unites, religion divides (spiritualisme menyatukan, agama memecah-belah).”

Singkat cerita, pemikiran ini membawa orang dari keadaan KETIADAAN IZZAH menuju KETIADAAN IMAN. Retorika-retorika semacam ini cukup berhasil dipropagandakan pada mereka yang tidak punya ‘izzah (kebanggaan) sebagai Muslim. Pada akhirnya, mereka tidak lagi beriman, atau keimanannya ambigu. Mengaku Muslim, tapi agama lain dibenarkan juga.

Pangkal persoalannya adalah minimnya pemahaman soal konsep agama itu sendiri. Kata “agama” memang bisa diartikan bermacam-macam, sebab bahasa Indonesia tidak punya ‘sistem akar kata’, berbeda dengan bahasa Arab, di mana setiap kata bisa ditelusuri maknanya dengan memahami akar katanya. Kita menggunakan kata diin dalam bahasa Arab yang bermakna “agama”. Prof. Naquib al-Attas menguraikan makna diin dalam banyak karyanya. Menurut beliau, ini penting sekali. Kata diin, jika dirunut akar katanya, memiliki makna seputar “hutang” dan “keberhutangan”. Singkat cerita, menurut al-Attas, perasaan berhutang itulah inti dari beragama. 

Orang yang sudah tidak merasa ‘berhutang’ lagi kepada Allah niscaya tidak bisa dipaksa untuk menjalankan ajaran agama. Pada hakikatnya, semua yang kita miliki adalah milik Allah. Semuanya akan kembali kepada Allah. Dengan demikian, apapun yang kita miliki adalah ‘hutang’ kepada Allah. Tentu saja, hutang kepada Allah tidak bisa kita lunasi, sebab semuanya milik Allah! Jika kita beramal shalih, maka segala yang kita gunakan untuk beramal shalih itu pun adalah milik Allah. Jika kita berbuat baik dan bersyukur, Allah malah akan menambah rahmat-Nya, maka ‘hutang’ kita bertambah lagi. Dari sinilah kita memahami interaksi cinta, takut, dan harap antara manusia dengan Allah s.w.t.

Dari uraian singkat di atas, tentu kita akan terheran-heran dengan orang yang bertanya: “Allah itu agamanya apa?” Allah berhutang kepada siapa? Jika pertanyaan ini dijawab, mudah saja melihat kontradiksi dari retorika di atas. Karena Allah tidak berhutang pada siapa pun, maka tentu tidak ada yang pernah mengatakan ‘Allah beragama.’ Ibadah adalah hal penting yang diajarkan oleh agama. Apakah Allah beribadah? Tentu tidak! Kalaupun ada istilah “Agama Allah” (misalnya dalam frase ‘membela Agama Allah’), maknanya tidak sama. Kenapa tidak sama? Ya, karena Allah tidak sama dengan manusia, atau dengan apa pun. Dalilnya sudah dihafal semua anak SD: “wa lam yakun lahuu kufuwan ahad!” Kalau dikatakan “membela agama Allah”, artinya membela agama yang diridhai Allah.

Mengapa ada orang kuliah jauh-jauh ke Universitas Al-Azhar, Kairo, tapi tidak paham masalah semudah ini? Wallaahu a’lam. Menurut saya, ini semua cuma masalah rendahnya harga diri, lemahnya kebanggaan sebagai Muslim. Kalau harga diri sudah rendah, apa pun yang dibawa orang akan dianggap hebat, dan ditiru mentah-mentah.
 

Bahkan dalam hal ini, mengambil konsep agama dari sebuah film. Bukalah mata, luaskan wawasan. Jangan pelihara perasaan rendah diri, karena kita adalah khalifah Allah di muka bumi. Tentu kita punya kelemahan, tapi kita pun punya kemampuan untuk belajar. Pada akhirnya kita akan bertanggung jawab kepada Allah. Semoga Allah s.w.t melindungi kita semua dari kejahilan yang menghinakan, aamiin...



Sebelumnya saya sudah membahas kerancuan utama dalam pertanyaan “Apakah Tuhan beragama?” Pembahasan saya fokuskan pada makna diin yang biasa diterjemahkan sebagai “agama”. Jika berpegang pada istilah “agama”, kita memang bisa kebingungan. Tapi tidak jika memahami makna diin.

Tapi ada hal lain yang menarik perhatian saya. Mari kita simak lagi tweet-nya. Ada hal lain yang membuat akal Anda ‘tergelitik’? Sebagian orang saya rasa sudah menyadarinya. Hal menarik yang saya maksud adalah keputusan Zuhairi Misrawi (tokoh Islam liberal) untuk berdiskusi tentang Tuhan dengan seorang pastur. Ya, pastur! Tahu pastur kan? Yang jelas, yang namanya pastur tidak beragama Islam, kan? Pertanyaan kritisnya adalah: Mengapa seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada seorang pastur? Apakah seorang pastur meyakini Tuhan yang sama dengan seorang Muslim? Ini juga mesti dijawab. Semua orang yang mengajukan teori pluralisme agama pada akhirnya harus ‘membentur’ pertanyaan ini. Kemudian, mereka pun memformulasikan jawaban. Semuanya berdasarkan spekulasi.

John Hick, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan yang disembah semua agama sama, namun perspektifnya berbeda. Islam, misalnya, menekankan pada keesaan Tuhan, tapi Kristen menekankan pada ‘kasih sayang’ (begitulah kebanyakan dari mereka berkata). Ini 100% spekulasi, sebab di zaman Rasulullah s.a.w, agama Kristen sudah ada, dan sudah ditolak habis-habisan. Lihat Q.s 
Al-Maa’idah[5]:72. 

“...telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam’”. Jelas! Bagaimana menyamakan Tauhidullaah dengan Trinitas? Cek Qs. Al-Maa’iah [5]:73 “Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.” 

Sangat jelas! Apalagi, umat Muslim sudah membaca Surah Al-Kaafiruun. “Aku tidak menyembah apa yang engkau sembah!” Silahkan cek lagi artikel saya tentang Surah Al-Kaafiruun ini di: Tentang Surah Al-Kaafiruun
Wilfred Cantwell Smith lain lagi dengan John Hick. Sejak awal ia sudah menolak istilah religion atau “agama”. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah faith (keyakinan) dan cummulative tradition (tradisi kumulatif). Dengan menggunakan istilah faith, ia membatasi agama pada urusan pribadi, padahal Islam mengatur kehidupan sosial juga. Dengan istilah cummulative tradition, seolah-olah agama hanya tradisi lokal saja. Apakah Islam ini tradisi Arab? Orang seperti Nasr Hamid Abu Zayd yakin betul Islam adalah agama yang sejalan dengan budaya Arab 14 abad yang lalu. Apa benar? Jika sesuai dengan tradisi Arab, perlukah Nabi s.a.w dan para sahabatnya menderita sedemikian rupa? Mengapa mereka diperangi jika memang Islam sesuai dengan tradisi Arab? Jika akal Anda masih berfungsi, pasti Anda memahami bahwa Islam justru mengobrak-abrik tradisi Arab jahiliyah. Sebaliknya, jika akal Anda sudah rusak, ya cenderung membebek pada Abu Zayd tanpa bersikap kritis.

Para tokoh pluralis dari aliran ‘humanisme sekuler’ mengganti religion dengan religious experience. Mereka percaya bahwa agama dan Tuhan itu sebenarnya ada dalam benak masing-masing, maka diserahkan pada setiap individu. Kalau sudah begini, maka bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusia yang ‘menciptakan’ tuhan. Terdengar tidak asing? Nih ada contohnya. 



Masih banyak teori pluralisme lainnya. Kebetulan tesis saya tentang pluralisme, jadi alhamdulillaah banyak referensi. Yang jelas, semua ini cuma spekulasi. Spekulasi bagi yang malas berpikir, lebih jelasnya! Dengan gampangnya kaum pluralis mengatakan Tuhan itu satu, tapi dipanggil dengan nama yang berbeda. Apa iya ini cuma soal perbedaan nama? Apakah konsep ketuhanan secetek itu? Kalau Anda cukup cerdas, pasti akan menyadari bahwa konsep ketuhanan yang berbeda-beda itu konsekuensinya besar.

Dalam agama Kristen, tuhan menciptakan manusia, sesudah itu menyesal. Jangan heran jika kemudian di Barat muncul Freud yang yakin bahwa manusia pada dasarnya berkeinginan jahat. 180 derajat bertentangan dengan Islam! Menurut Islam, pada dasarnya fitrah manusia itu baik! Jika manusia berbuat zalim, maka yang pertama sekali ia zalimi adalah dirinya sendiri. Subhaanallaah! Sungguh berbeda Allah s.w.t dengan segala yang mereka pertuhankan itu! Maka, jika ada seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada seorang pastur, telah jelaslah kebodohannya. 

Terakhir, saya ingin lebih memperjelas lagi perbedaan antara pemahaman kita (Muslim) dengan pastur. Umat Kristen percaya bahwa tuhan mewujud menjadi manusia dalam sosok Yesus. Kita hormati keyakinan mereka, karena bagaimana pun, kita juga harus meyakini perbedaan di antara kita. Bagi umat Kristiani, Yesus adalah sosok teladan. Ia turun ke dunia untuk mengajarkan kebaikan pada manusia. Umat Muslim juga meneladani kebaikan, tapi dari para Nabi dan Rasul, bukan langsung dari Allah s.w.t. Mengapa? Sebab, Allah s.w.t bukan manusia. Manusia tidak bisa mencontoh-Nya. Allah s.w.t tidak memiliki kebutuhan, sedangkan manusia secara fitrah memilikinya. Oleh karena itu, teladan bagi manusia adalah manusia juga, bukan Allah, bukan malaikat. Para Nabi dan Rasul punya kebutuhan yang sama seperti manusia lainnya, maka mereka bisa menjadi teladan. Oleh karena itu, jika Tuhan sendiri yang mewujud menjadi manusia untuk menjadi teladan, maka ini kontradiktif bagi akal.

Untuk menggoyahkan akal sehat, ada saja yang berargumen ganjil. Misalnya, ada yang beretorika: “Jika Tuhan memang Maha Kuasa, apa anehnya jika ia mewujud menjadi manusia?” Dalam logika mereka, justru Tuhan akan dianggap Maha Kuasa jika menjadi manusia, dan mati seperti manusia. Pengguna logika semacam ini lupa bahwa persoalannya adalah: Apakah Tuhan berkehendak demikian? Formulasi pertanyaan yang tepat adalah: “Apakah Tuhan mau merendahkan diri-Nya menjadi seperti makhluk ciptaan-Nya?” Itulah sebabnya umat Muslim selalu mensucikan nama Allah. Subhaanallaah! Subhaanaka! Jika Allah menjadi manusia, maka itu bukan bukti ke-Maha Kuasa-an, melainkan kehinaan. Nabi Musa a.s pernah memohon agar mampu melihat Allah. Bacalah di Qs. Al-A’raaf [7]:143, dan ambillah pelajaran dari kisah tersebut!

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (Qs. Al-A’raaf [7]:143)

Kesimpulan yang saya ambil dari sini adalah: tidak masuk akal seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada pastur. Sebab, “Tuhan” yang ada dalam benak kita jauh berbeda dengan apa yang ada dalam benak seorang pastur. Apa yang dianggap ‘logis’ bagi umat Kristiani justru dianggap tidak logis oleh umat Muslim. Kedua pendapat tersebut saling bertentangan, anda tidak bisa memilih keduanya! Jika tunduk pada seorang pastur, tunduk pula pada logikanya! Jadi, sejak awal, diskusi Zuhairi Misrawi dengan sang pastur sudah sangat keliru. Ketiadaan izzah adalah kuncinya! Semoga kita terus menjadi hamba-hamba yang menyucikan nama Allah s.w.t, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...
Sumber: https://storify.com/malakmalakmal/




Pangkal diskusinya masih sama, yaitu pada tweet lucu yang satu ini. Pada artikel pertama, kita sudah bahas kekeliruan yang diakibatkan dari ketidakpahaman akan makna diin. Pada artikel kedua, kita sudah bahas kekeliruan logika seorang Muslim yang bertanya soal Tuhan kepada pastur. Pada hakikatnya, meski sama-sama menyebut kata “Tuhan”, tapi yang kita pertuhankan berbeda. Karena itu, jika ada Muslim yang belajar soal Tuhan dari umat lain, jelas problemnya ada pada ‘izzahdan logikanya sendiri.

Kali ini, saya ingin berikan pertanyaan lebih menantang lagi. 




Pertanyaan saya: Mengapa sang Pastur bertanya seperti itu? Pertanyaan yang diajukan oleh sang Pastur adalah retorika. Kita dapat dengan mudah menerka jawaban yang ia kehendaki. Jawaban yang ia kehendaki itu adalah cerminan dari pemahaman dalam benaknya sendiri. Tapi mengapa seorang Pastur harus mempertanyakan apa agama Tuhan? Ada apa di balik pertanyaan ini? Bagi seorang Muslim, tidak ada perlunya mempertanyakan agama Tuhan (cek artikel pertama). Lalu ada apa dengan pastur ini?

Akar perbedaan setiap agama adalah pada konsep ketuhanannya. Konsep ketuhanan bukan hanya membedakan masing-masing agama, tapi juga membedakan cara berpikir umat beragama. Disinilah, lagi-lagi, kita melihat kenaifan paham pluralisme agama. Umat Muslim dan Kristiani boleh jadi sama-sama menggunakan kata “Tuhan”, tapi yang dibicarakan tidaklah sama. 


Sebagian agama di dunia berusaha mendeskripsikan tuhannya dengan sebuah imej visual, tapi Islam tidak demikian. Bagi seorang Muslim, menggambarkan Allah s.w.t ke dalam sebuah imej visual adalah absurd. Sebab, segala hal yang kita dapat saksikan wujudnya di alam semesta ini memiliki keterbatasan.

Dalam agama Kristen, Yesus dianggap bagian dari Trinitas, ia dianggap tuhan juga. Penjelasannya memang rumit. Ada masalah besar yang muncul ketika Tuhan ‘mewujud’ menjadi manusia, konsepnya jadi berantakan. Sebab, ketika Tuhan digambarkan seperti manusia, maka semua keterbatasan manusia pun ‘dibawa serta’. Contoh sederhana saja, jika ‘tuhan’ berjalan, kita semestinya bertanya: Apa Tuhan harus berjalan? Padahal, ruang dan waktu ini adalah ciptaan Tuhan. Lalu mengapa ‘tuhan’ harus berjalan menempuh ruang? Jika kita melihat ‘tuhan’ makan, kita semestinya kritis: Apa Tuhan butuh makan? Apa yang terpikirkan dalam benak jika kita melihat ‘tuhan’ berkeringat karena kelelahan? Jika kita melihat ‘tuhan’ buang air, apakah kita masih akan menganggapnya sebagai Tuhan?

Para pemeluk agama Kristen bahkan meyakini tuhan yang berdo’a. Berdo’a kepada siapa? “Ketika Yesus disalib, lagi-lagi ia berdoa lirih, “Eli.. Eli.. Lama sabachtani...”
Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Bibel – Matius 27:46)




Bagi umat Muslim, berdo’a itu memang pekerjaan manusia. Yang berdo’a sudah pasti manusia, bukan Tuhan. Mengapa manusia berdo’a? Sebab ada keterbatasannya. Kemampuan kita memang terbatas. Manusia makan karena memang tubuhnya butuh makan. Demikian juga berkeringat dan buang air. Tubuh manusia memang akan mati jika disalib. Maka, yang mati disalib pastilah manusia, bukan Tuhan. Lucunya, sekarang ada yang mendebat: “Bukankah tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak?”






Menurut logikanya, Tuhan bisa mewujud menjadi manusia jika Dia menghendakinya. Jadi, Tuhan akan berbuat APA SAJA, hanya karena DIA BISA? Itukah logika yang benar? Mari formulasikan teori tersebut dalam kepala. Jika kita setuju Tuhan itu Maha Mulia, apakah teori ini sesuai?

Mari berbelok sejenak. Bayangkanlah seorang penguasa yang mulia. Ini manusia, lho! Ada seseorang berkuasa secara politis, fisik, finansial, dan lain-lain. Bisa dikatakan ia bisa melakukan (nyaris) apa saja. Karena ia sangat berkuasa, maka ia merasa bebas berbuat apa saja. Ia tidak menjaga sikapnya. Ia tertawa terbahak-bahak, bersendawa, dan buang angin sembarangan seperti rakyat jelata. Karena ia berkuasa penuh, maka ia pun berbuat zalim kepada rakyatnya. Contoh yang seperti ini banyak sekali di dunia. Melakukan sesuatu hanya karena anda bisa melakukannya sebenarnya BUKANLAH tindakan mulia.

Hanya karena Tuhan Maha Kuasa, bukan berarti Dia sudi melakukan segalanya. Sebab, selain Maha Kuasa, Tuhan juga Maha Mulia. Rasanya kita semua sepakat dengan hal ini. Oleh karena itu, meski Tuhan Maha Kuasa, ia takkan melakukan apapun yang merusak kemuliaan-Nya. Bagaimana jika di akhirat kelak orang-orang beriman dan kafir sama-sama dimasukkan ke Neraka? Di satu sisi, itu hak prerogatif Tuhan, tapi itu justru ‘merusak kemuliaan-Nya’. Sebab, Tuhan sendiri yang menyuruh manusia untuk menepati janji. Menepati janji itu mulia. Tuhan juga menyuruh manusia membalas kebaikan dengan kebaikan. Itulah perbuatan mulia. Maka, apakah wajar jika Tuhan melanggar janji-Nya sendiri dan membalas kebaikan dengan siksaan? Meskipun Tuhan Maha Kuasa melakukan hal tersebut, tapi kita meyakini Dia takkan melakukannya. Allah s.w.t itu Maha Perkasa, namun Dia juga menamai diri-Nya sebagai Maha Penyayang. Meski Allah mampu menyiksa semua manusia tanpa terkecuali, namun kasih sayang-Nya mendahului siksa-Nya. 

Logika yang sama bisa kita gunakan dalam hal apa pun. Tuhan Maha Kuasa, tapi apa Dia sudi mewujud menjadi makhluk-Nya? Apakah Tuhan sudi merendahkan diri-Nya hingga ke level makhluk-Nya?

Bagaimana dengan yang ngotot ‘berlogika’ tadi? Ujung-ujungnya malah menolak logika tuh. Karena hal-hal seperti inilah saya malas berdebat di Twitter. Orang terlalu gampang menjilat ludah sendiri dalam 140 karakter. Bagi umat Muslim, konsep semacam ini sudah sangat dipahami. Anak kecil pun paham.

Allah s.w.t mengirimkan para Nabi dan Rasul untuk menjadi teladan, karena mereka 100% manusia. Para Nabi harus mencontohkan cara makan dan minum dengan benar. Oleh karena itu, mereka pun makan dan minum. Bahkan manusia harus pula diajari cara buang air yang benar, maka, para Nabi pun melakukannya. Allah s.w.t tidak perlu ‘turun tangan’ langsung untuk menjelaskan cara manusia memenuhi kebutuhannya. Umat Muslim tidak pernah gamang membedakan antara Tuhan dan manusia, karena memang jelas bedanya.

Tapi tidak demikian halnya bagi agama-agama yang ‘memanusiakan’ tuhan mereka. Jauh sebelum agama Kristen lahir, masyarakat Yunani kuno pun mengalami ‘kebingungan’ yang sama. Dewa-dewi mereka sangat manusiawi. Meskipun punya kemampuan hebat, tetap saja manusiawi. Pada akhirnya, mereka pun bingung membedakan antara manusia dan dewa-dewinya. Ada dewa-dewi seperti Zeus, Hades, Poseidon, Hera, dan seterusnya. Ada manusia separuh dewa seperti Hercules dan Perseus. Tapi, ada juga manusia yang kepahlawanannya bak dewa seperti Achilles dan Odysseus. Adakalanya, manusia separuh dewa dan manusia yang bak dewa bisa mengalahkan dewa yang sesungguhnya. Di saat lain, para dewa melakukan hal-hal yang tidak mulia seperti manusia, bahkan lebih hina daripada manusia biasa. 

Kalau sudah begini, niscaya kerancuan berpikir akan selalu terjadi. Akibatnya, manusia tidak mengenal Rabb-nya. Maka janganlah heran jika ada Pastur yang kemudian bertanya: “Apa sebenarnya Agama Tuhan?” Yang paling ajaib sesungguhnya adalah mereka yang sudah mengenal tauhid namun latah dengan kegamangan orang-orang kafir. Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah atas nikmat iman dan Islam ini. Semoga kita semua senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus. Aamiin, Allaahumma aamiin...
Sumber: https://storify.com/malakmalakmal/

Posting Komentar

Donasi

Bagi yang ingin membantu Penyebaran Dakwah : Silahkan Transfer ke Rekening Kami BNI Syari'ah kantor Cabang Surakarta 0348328005
 
Top