Dosen Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum UI, Ditha Wiradiputra, menilai Gojek online sangat membantu dan punya nilai tambah ketika bekerja di tempat lain hanya menerima gaji yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
“Mau tidak mau, daripada tidak bekerja, akhirnya gojek menjadi pilihan untuk mencari nafkah,” ujar Ditha kepada Islampos usai Talkshow “Menelaah Aspek Hukum, Ekonomi, dan Sosial Fenomena Gojek Modernisasi Transportasi VS Tradisi” di Fakultas Hukum UI Depok, Kamis (17/9/2015).
Dikatakan Ditha, Munculnya beberapa perusahaan sarana transportasi ojek online, seperti Gojek, Grabbike, Ojesy, dan kini hadir BluJek, di satu sisi menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sehingga memunculkan kesan, semua rakyat Indonesia akan menjadi driver gojek semua, dikarena kan lapangan pekerjaan lain dengan pendapatan yang menjanjikan tak tersedia.
“Pemerintah seharusnya malu, karena tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan buat rakyatnya. Siapa sih yang tak ingin kesejahteraan terjamin. Mereka ingin sekali kerja kantoran, tapi lagi-lagi sulit,” terang Ditha.
Lebih lanjut Ditha mengatakan, mengguritanya gojek online adalah bentuk kegagalan pemerintah. Ketika terjadi PHK besar-besaran, gojek menjadi pilihan dan alternatif untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari agar tetap ngebul.
“Ini pukulan pemerintah, rakyat harus berjibaku mencari usaha sendiri,” jelas Ditha turut prihatin.
Ditha menyambut positif kehadiran gojek online, karena dianggap menguntungkan bagi masyarakat, namu sayangnya profesi gojek belum dilengkapi oleh regulasi atau Undang-undang. Pemerintah bersama DPR seharusnya menyediakan aturan dalam bentuk UU.
“Ini salah pemerintah yang belum mengeluarkan regulasi. Padahal seharusnya driver gojek dan custumor (konsumen) nya harus dilindungi dengan asuransi jasa raharja. Karena belum ada regulasinya, dimana roda dua belum dikategorikan sebagai transportasi umum, maka hak-hak untuk mendapat perlindungan belum bisa terpenuhi. Kalau tidak ada regulasi, gojek semakin banyak, dampaknya orderan semakin sedikit. Maka, perlu diatur segera, agar tak ada yang dirugikan.”
Menurut Ditha, pengaturan lainnya adalah penyedia jasa memberikan persyaratan tertentu kepada driver, tidak cuma bisa mengemudi motor, tapi sadar aturan keselamatan, sehingga tidak ada yang dirugikan.
Ketika ditanya apakah pemerintah perlu membatasi bermunculannya perusahaan ojek online sejenis? “Sepertinya sulit, dan tidak bisa dibatasi. Karena lagi-lagi belum ada regulasinya,” kata Ditha.
Gap Gojek dan Pangkalan Ojek
Disatu sisi ojek online menjadi solusi, namun disisi lain menjadi permasalahan social baru. Antara Gojek dan Ojek Pangkalan kerap terjadi gesekan di masyarakat. Bahkan beberapa kali terjadi kekerasan,dikarena persaingan yang dianggap tak sehat. Ojek Pangkalan menilai Gojek tak beretika mengambil penumpang seenaknya.
“Dimana-mana selalu ada hukum yang tidak tertulis. Misalnya, di Mall ada pangkalan taxi, tak boleh taxi lain tiba-tiba mengambil penumpang sembarangan. Begitu juga di hotel, bandara dan sebagainya. Dan juga jangan dibilang wajar kalau terjadi kekerasan. Itulah sebabnya perlu aturan secara tertulis dan ada koridor hukumnya. Ini masalah etika saja, masing-masing driver harus saling menghargai,” pungkas Ditha.
Ditha tidak mempersoalkan jika ojek pangkalan merangkap menjadi Gojek online. Harusnya saling membantu, bukan dilandasi oleh sentimen. Setiap orang punya hak untuk mendapatkan tambahan. Terpenting etika sesama driver harus terjaga. (Desastian/Islampos)
Posting Komentar